Dalam Perkembangannya Masyarakat Wonogiri tidak lepas dari sejarah Raden Mas Said. Raden Mas Said atau KGPAA Mangkunegoro I membagi wilayah Kabupaten Wonogiri menjadi 5 (lima) daerah yang masing-masing memiliki ciri khas atau karakteristik yang digunakan sebagai metode dalam menyusun strategi kepemimpinan, yaitu :
- Daerah Nglaroh (wilayah Wonogiri bagian utara, sekarang masuk wilayah kecamatan Selogiri). Sifat rakyat daerah ini adalah Bandol Ngrompol yang berarti kuat dari segi rohani dan jasmani, memiliki sifat bergerombol atau berkumpul. Karakteritik ini sangat positif dalam kaitannya untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Rakyat di daerah Nglaroh juga bersifat pemberani, suka berkelahi, membuat keributan akan tetapi jika bisa memanfaatkan potensi rakyat Nglaroh bisa menjadi kekuatan dasar yang kuat untuk perjuangan.
- Daerah Sembuyan (wilayah Wonogiri bagian selatan sekarang Baturetno dan Wuryantoro), mempunyai karakter sebagai Kutuk Kalung Kendho yang berarti bersifat penurut, mudah diperintah pimpinan atau mempunyai sifat paternalistik.
- Daerah Wiroko (wilayah sepanjang Kali Wiroko atau bagian tenggara Kabupaten Wonogiri sekarang masuk wilayah Kecamatan Tirtomoyo). Masyarakat didaerah ini mempunyai karakter sebagai Kethek Saranggon, mempunyai kemiripan seperti sifat kera yang suka hidup bergerombol, sulit diatur, mudah tersinggung dan kurang memperhatikan tata krama sopan santun. Jika didekati mereka kadang kurang mau menghargai orang lain, tetapi jika dijauhi mereka akan sakit hati. Istilahnya gampang-gampang susah.
- Daerah Keduwang (wilayah Wonogiri bagian timur) masyarakatnya mempunyai karakter sebagai Lemah Bang Gineblegan. Sifat ini bagai tanah liat yang bisa padat dan dapat dibentuk jika ditepuk-tepuk. Masyarakat daerah ini suka berfoya-foya, boros dan sulit untuk melaksanakan perintah. Akan tetapi bagi seorang pemimpin yang tahu dan paham karakter sifat dan karakteristik mereka, ibarat mampu menepuk-nepuk layaknya sifat tanah liat, maka mereka akan mudah diarahkan ke hal yang bermanfaat.
- Daerah Honggobayan (daerah timur laut Kota Wonogiri sampai perbatasan Jatipurno dan Jumapolo Kabupaten Karanganyar) mempunyai karakter seperti Asu Galak Ora Nyathek. Karakteristik masyarakat disini diibaratkan anjing buas yang suka menggonggong akan tetapi tidak suka menggigit. Sepintas dilihat dari tutur kata dan bahasanya, masyarakat Honggobayan memang kasar dan keras menampakkan sifat sombong dan congkak serta tinggi hati, dan yang terkesan adalah sifat kasar menakutkan. Akan tetapi mereka sebenarnya baik hati, perintah pimpinan akan dikerjakan dengan penuh tanggungjawab.
SEJARAH TARI KETHEK OGLENG
Dengan memahami karakter daerah-daerah tersebut, Raden Mas Said menerapkan cara yang berbeda dalam memerintah dan mengendalikan rakyat diwilayah kekuasaannya, menggali potensi yang maksimal demi kemajuan dalam membangun wilayah tersebut. Raden Mas Said memerintah selama kurang lebih 40 tahun dan wafat pada tanggal 28 Desember 1795.
Tari Kethek Ogleng merupakan salah satu seni tari tradisional yang menyajikan gerak lucu kera putih dengan iringan musik gamelan riang menghentak dan bersifat menghibur. Kethek Ogleng berkembang diwilayah Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Pacitan Provinsi Jawa Timur dan sebagian Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta.
Khusus bagi Kabupaten Wonogiri, Tari Kethek Ogleng telah di tempatkan sebagai ikon atraksi budaya dan pariwisata. Berdasarkan penelusuran penulis, didapatkan satu versi sejarah Kethek Ogleng di Kabupaten Wonogiri. Kethek Ogleng adalah nama sebuah tarian yang diciptakan oleh seorang warga Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah bernama Darjino yang kemudian disempurnakan oleh Suwiryo.
Di tangan Suwiryo gerakan tariannya diubah lagi hingga menyerupai gerakan-gerakan kera yang ternyata sangat digemari oleh masyarakat luas. Setelah Suwiryo meninggal tarian itu diteruskan oleh Sukijo hingga sekarang dan menjadi salah satu ikon Kabupaten Wonogiri. Tidak diketahui secara pasti kapan tarian ini diciptakan. Cerita dalam tari kethek ogleng diilhami dari legenda Panji yang di dalamnya terdapat cerita tentang kethek (kera). Tarian ini sangat digemari oleh masyarakat hingga akhirnya meyebar ke seluruh kecamatan di Kabupaten Wonogiri dan menjadi ikon dari kabupaten ini.
Bagi masyarakat Wonogiri, kesenian kethek ogleng difungsikan sebagai kesenian rakyat pasca panen atau hiburan pada saat pesta hajatan, khitanan, nadzar setelah sembuh dari sakit atau ketika berhasil mencapai sesuatu yang diinginkan.
Secara segi bahasa, Kethek Ogleng berasal dari kata Kethek (Bahasa Jawa = kera) dan Ogleng : bunyi Saron Demung atau biasa disebut gleng. Kethek Ogleng dapat dimaknai Tarian kera dengan gerak lucu dengan iringan gamelan yang berbunyi ogleng-ogleng.
Dilihat dari narasi dongeng yang melatar belakangi tarian Kethek Ogleng adalah kisah Panji Asmarabangun dan Dewi Sekartaji. Versi cerita Panji yang berkembang di Wonogiri mengisahkan, pada suatu hari Raden Panji meninggalkan istana dan menyamar menjadi rakyat biasa dengan disertai dua orang pembantu setianya, Jarodeh dan Prosonto.
Agar kepergiannya tidak diketahui masyarakat luas, ia menyamar dan mengubah namanya menjadi Jaka Asmara. Kepergian Raden Panji membuat bingung Dewi Sekartaji, dan kemudian memutuskan pergi dari istana untuk mencari kekasihnya. Ia ditemani adiknya Dewi Ragil Kuning. Dalam pencariannya, mereka berdua menyamar dan mengubah namanya,
Dewi Sekartaji berganti nama menjadi Endhang Rara Tompe dan Dewi Ragil Kuning menjadi Endhang Suminar. Mereka akhirnya bertemu Mbok Randha Sambega di Desa Dhadhapan yang kemudian menjadi ibu angkatnya. Mengetahui putra putrinya pergi dari istana, Raja Jenggala segera mengutus Panji Gunung Sari untuk mandar saudara-saudaranya yang hilang. Dalam pencariannya itu, Gunung Sari terlebih dulu mohon petunjuk Dewi Kilisuci, saudara tua ayahandanya yang bertapa di gunung Anjasmara. Tidak lama kemudian Panji Gunungsari sampai dipuncak gunung Anjasmara dan mendapatkan petunjuk, ia harus berubah wujut menjadi kethek (kera) putih bernama Kethek Ogleng dan harus pergi ke desa Dhadapan. Pada saat yang sama, ketika kerajaan sedang berduka, datanglah tentara Klono Bramodirada menyerang Jenggala, karena lamarannya kepada Sekartaji ditolak.
Pada suatu hari ketika Randha Sambega Dhadapan beserta putri-putri angkatnya yaitu Endhang Rara Tompe dan Endhang Suminar tengah membicarakan keadaan desanya, tiba-tiba datang kera putih (Kethek Ogleng) yang membuat takut mereka. Namun setelah Kethek Ogleng menyampaikan maksudnya, mereka dapat menerima dengan senang hati. Kethek Ogleng minta dihibur dengan nyanyian kudangan (sanjungan) oleh Endhang Rara Tompe.
Namun, ketika mendengar Nyanyian Endhang Rara Tompe yang indah, Kethek Ogleng mengantuk dan kemudian tertidur. Pada saat itulah Kethek Ogleng ditinggal lari Randa Sambega dan anak-anaknya. Setelah bangun dan menemukan dirinya sendirian, Kethek Ogleng marah dan mencari mana mereka berada. Dalam pelarian mencari perlindungan, para putri tersebut menangis karena takut dan bingung. Tangis mereka kemudian didengar oleh Jaka Asmara dan segera dicari di mana mereka berada. Mereka bertemu dan minta tolong karena sedang dikejar-kejar Kethek Ogleng.
Akhirnya, Jaka Asmara bertemu dan berhadapan dengan Kethek Ogleng lalu terjadi pertengkaran. Mereka sama-sama sakti, tidak ada yang menang dan kalah. Akhirnya keduanya kembali ke wujud semula (badhar): Jaka Asmara berubah wujud menjadi Raden Panji Asmarabangun, dan Kethek Ogleng berubah menjadi Raden Panji Gunungsari. Demikian pula Endhang Rara Tompe berubah rupa menjadi Dewi Sekartaji, dan Endhang Suminar menjadi Dewi Ragil Kuning. Segera setelah itu, mereka meninggalkan Randha Sambega menuju kerajaan Jenggala untuk untuk mengusir musuh. Raden Panji berhasil mengalahkan prajurit Klono dan mereka semua kembali hidup bahagia.
Tari Kethek Ogleng yang disajikan dalam 2 bentuk yaitu, cerita utuh dan pethilan. Sedangkan di Kabupaten Wonogiri lebih banyak disajikan pethilan, yaitu hanya menampilkan kethek ogleng saja meskipun ada yang kolosal dengan banyak penari.
Berdasarkan sumber sejarah, Tari Kethek Ogleng di jadikan ikon tarian Kabupaten Wonogiri sejak tahun 1967, pada saat itu Bupati Wonogiri di jabat oleh R. Samino yang menggantikan pejabat lama R. Suwarno Brotopranoto. Pada saat itu, grup kethek ogleng asal kecamatan Sidoharjo pimpinan Samidjo menggarap tari kethek ogleng dengan formasi lengkap sebanyak 60 orang.
Saat ini, tari Kethek Ogleng lebih banyak disajikan sebagai media hiburan dengan menampilkan gerak lincah lucu tokoh kera putih yang bercanda dengan penonton.